Selasa, 04 Februari 2014

(Refleksi teologis singkat tentang sikap iman gereja dan politik di Indonesia)
Oleh. Pdt. Handi Hadiwitanto

Rupanya sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, setiap kali memasuki masa-masa pemilu, maka anggota jemaat mulai sibuk bertanya tentang hubungan Iman dan Politik, atau bertanya apakah orang Kristen boleh, atau perlu berpolitik. Hal ini menjadi klasik, karena seolah-olah politik adalah persoalan pemilu saja. Dan hal yang paling nyata dari pernyataan maupun pertanyaan ini adalah, politik selalu dikaitkan dengan hal perebutan kekuasaan. Karena itu sterotype-nya adalah politik itu kotor, jahat, tidak ada kawan sejati dan sebagainya. Pertanyaan kita adalah sudah benarkah pengertian politik yang seperti itu? Pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teologis - teknis, seperti bagaimana kata Alkitab, bolehkah orang Kristen berpolitk, bagaimana cara dan bentuknya, bagaimana sikap kita menghadapi pemilu?
Eka Darmaputera pernah menulis kalimat yang menarik mengenai "politik" ini: "hubungan antar agama di negeri kita sekarang ini tanpa sadar mendesak agama-agama untuk menjadi ‘agama politik’, yang bersibuk dan berdaya upaya senantiasa untuk meraih kuasa... Kita membutuhkan ‘politik agama’ yang jelas dan bijaksana, memberikan kerangka agar agama-agama di samping misinya yang asli, juga menjadi pembantu dan bukan pengganggu bagi usaha-usaha pembangungan bangsa." (Sinaga dkk. 2001 : 228)

Berangkat dari kutipan Darmaputera di atas saya ingin mengajak kita untuk masuk dalam wacana singkat mengenai kata "politik". Politik dalam penggunaannya sehari-hari sebenarnya belum dimengerti secara lengkap oleh kita semua. Kalau kita memperhatikan statement dari politik, tetapi politik itu sendiri lebih besar dari sekedar kekuasaan. Politik dalam arti yang paling mendasar adalah soal pengaturan kesejahteraan masyarakat (dalam sebuah polis/kota; saat ini: negara/wilayah). Dengan mengacu pada pandangan Metz dan Moltmann - para teolog yang menelurkan gagasan mengenai teologi politik di Jerman - Assmann mengatakan bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan bukan hanya hubungan formal dengan negara (Assmann 1975 : 30)

Dengan pengertian politik yang luas seperti ini, maka kita diajak untuk menjadi sadar bahwa setiap masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat seperti kota atau negara, amat memerlukan kebijakan politik. Dan setiap tindakan yang berhubungan serta berdampak pada kesejahteraan orang banyak disebut sebagai tindakan politis. Konsekuensi yang berkaitan dengan gereja berdasarkan pandangan ini amat besar. Sebagai contoh saja, ketika gereja memikirkan kesejahteraan masyarakat miskin, dan mengadakan pelayanan pengobatan kepada mereka secara murah maka itupun sudah menjadi sebuah kegiatan politis dari gereja. Hal inlah yang dimaksudkan oleh Darmaputera sebagai tindakan politik agama atau politik gereja. Berbeda sekali dengan konsep agama atau gereja politis yang hendak mencari keuntungan dan kekuasaan bagi diri sendiri. Karena itu semakin gereja itu hidup merakyat dalam pelayanan kontekstualnya, atau gereja itu terlibat aktif dalam pergumulan sejarah masyarakat di mana gereja itu melayani, maka gereja itu pun sudah berpolitik. Karena itu bagi Pieris yang amat menaruh perhatian pada konsep berteologi dalam konteks masyarakat Asia, agama-agama termasuk gereja di Asia hampir tidak dapat dipisahkan dari masyarakat (hubungan agama/iman - adat - masyarakat), dan dengan demikian maka semua gereja-gereja di Asia pada dasarnya adalah gereja yang berpolitik, atau biasa disebut sebagai ber-teologi politik (Pieris 1996 : 78 dst).

Sampai di sini maka apa yang dikatakan oleh Darmaputera di atas menjadi semakin jelas. Bila gereja sebagai sebuah institusi menjadi gereja politi, yaitu gereja yang sibuk mengejar kekuasaan atau keuntungan diri sendiri, maka gereja tidak memberikan kontribusi apa pun bahkan mungkin sudah menjadi pengganggu bagi kehidupan bersama. Sikap inilah yang harus kita lawan sebagai gereja. Berkaitan dengan hal di atas, selama ini banyak warga gereja selalu berpikir bahwa mereka tidak berpolitik, apalagi untuk mengejar keuntungan bagi dirinya. Tetapi pandangan ini harus sudah dikoreksi. Ada banyak contoh mengenai sikap politik gereja (formal maupun tidak) yang menunjukkan bahwa gereja mengejar kekuasaan atau kepentingan dirinya. Sebagai contoh seperti yang ditulis oleh Singgih: langsung atau tidak gereja menekankan pentingnya unsur Kristen masuk dalam struktur pemerintahan; mengambil sikap sebagai ‘anak manis’ dan menyandarkan diri pada perlindungan penguasa; memperjuangkan kepentingan sendiri dengan membangun jembatan dengan pemerintah/ penguasa dan golongan elit tertentu (Singgih 2000 : 26-35). Jelas sikap seperti ini tidak hanya dilakukan pada saat momentum pemilu, tetapi hampir di seluruh perjalanan hidup politik gereja di Indonesia (lihat Sirait 2001 : 181 dst). Kita dapat mengerti bahwa keadaan seperti ini didorong oleh situasi dan kondisi bernegara - berbangsa - beragama di Indonesia yang memang tidak ideal. Diskriminasi dan ketidakadilan terjadi di mana-mana di berbagai wilayah masyarakat termasuk wilayah hubungan agama-agama, yang menghasilkan sikap iman dan politik gereja yang tidak ideal pula (lih. Hadiwitanto 2002).

Karena itu sebagai gereja kita perlu mengubah konsep berpolitik ke arah yang lebih benar dan luas. Bukan gereja politik untuk mengejar kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik gereja yang menghasilkan teologi politik yang ideal, yaitu refleksi-refleksi dan tindakan iman di dalam serta demi kepentingan kehidupan masyarakat banyak. Di sini teologi politik gereja menghadirkan gereja sebagai institusi kritis dan agen pembaruan di tengah berbagai kebijakan publik. Dengan demikian maka gereja menjadi sumber pengharapan bagi konteks masyarakat yang ada. Di sini secara tegas kita harus mengatakan bahwa gereja memang berpolitik, bukan untuk kekuasaan sempit, bukan hanya pada saat ada pemilu, tetapi untuk kesejahteraan dan kemanusiaan manusia.

Bagian Kedua
Berbicara mengenai teologi politik dan kesejahteraan manusia membuat kita perlu untuk kembali membangun refleksi teologis dari dasarnya, yaitu Yesus Kristus (1 Kor 3: 11). Pemahaman yang utuh mengenai hidup penderitaan, penghinaan dan penyaliban akan membawa kita pada pesan kemanusiaan dan sikap politis Yesus yang menjadi teladan bagi gereja modern. Tentu untuk itu diperlukan pemeriksaan pada banyak teks terkait, yang tiak dapat dilakukakan semua dalam tulisan ini. Di bawah saya hendak mengajak kita semua untuk memeriksa satu teks terkenal dalam Matius 22:15-22. Teks ini sangat sering dijadikan dasar pengertian tentang hubungan gereja dan negara karena setting cerita yang amat khas. Karena itu selain kita dapat melihat situasi politis yang terjadi pada masa Yesus, dalam terang keseluruhan pesan Injil kita juga dapat membangun pemahaman mengenai politik gereja yang semestinya.

Dalam teks Matius 22:15-22 Yesus diperhadapkan pada pertanyaan yang apapun jawabannya mempunyai konsekuensi politis, yaitu "apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak?" Pada masa itu masyarakat Yahudi Palestina masih diberikan kebebasan untuk bergerak dalam tradisi keagamaannya (bahkan daerah Galilea merupakan pemerintahan khusus yang dipimpin oleh raja keturunan Herodes), tetapi penyangkalan pada kekuasaan Romawi merupakan tindakan makar yang dapat menjadi persoalan serius. Di sisi lain harapan orang Yahudi pada saat itu juga bermacam-macam melakukan tindakan makar dengan menolak pembayaran pajak serta membangun gerakan-gerakan di bawah tanah. Golongan Farisi amat yakin pada kebebasan mereka dari Romawi, tetapi mereka tidak melakukan perlawanan terang-terangan. Baik Zelot maupun Farisi sama-sama menantikan kehadiran Sang Mesian yang akan membebaskan mereka dari Romawi. Sedangkan golongan Herodes Agung akan berkuasa memerintah palestina. Karena itu kembali pada pertanyaan di atas, jika Yesus menjawab, ya, maka Yesus akan mengecewakan orang banyak yang berpikir bahwa Yesus adalah Mesias dan orang-orang Farisi dan Zelot akan punya alasan untuk mengenyahkan Yesus. Sebaliknya jika Yesus menjawab, tidak, maka Yesus melakukan tindakan makar dan dapat diperhadapkan pada pemerintahan Romawi (lih. De Heer 1994 : 433-434).
Pertanyaan yang bermaksud menjebak Yesus ini pada akhirnya menjadipertanyaan yang akan mengungkapkan bagaimana Yesus memahami politik pada saat itu. Jawaban Yesus dalam ay. 19-21 memperlihatkan dua hal penting.

Pertama, Yesus bersikap adil pada pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Kalimat "berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar.." Berhubungan erat dengan tulisan yang ada pada uang Romawi, yang memberitahukan bahwa uang tersebut milik pemerintah Romawi. Tetapi selain itu juga Yesus ingin mengatakan secara umum bahwa jika mereka sebagai masyarakat pada saat itu memang diatur oleh kebijakan Romawi dan itu semua memang berjalan dengan baik, mengapa tidak! Yesus di sini tidak terjebak dalam politik kekuasaan yang dimaksudkan oleh orang-orang Farisi. Dengan kata lain Yesus sedang mengatakan bahwa kehadiranNya tidak berurusan dengan politik kekuasaan yang sempit.

Kedua, Yesus mengatakan lebih lanjut dalam ay. 21, "berikanlah... Kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Pernyataan ini segera menyadarkan kita bahwa Yesus memperlihatkan sikap politik yang tidak menjadikan kaisar atau pemerintahan dunia sebagai perwujudan yang ilahi (politik ontokrasi), sehingga menghadirkan kekuasaan absolut murni. Yesus tetap mengingatkan bahwa ada Allah yang harus dihormati oleh masyarakat maupun kaisar/pemerintah (politik teokrasi).
Ketika Yesus berbicara mengenai kekuasaan Allah, maka kita bukan sedang berbicara mengenai sistem politik kekuasaan suatu negara tertentu. Melainkan seluruh pikiran dan kehendak Allah yang dicerminkan melalui pelayanan Yesus di tengah manusia. Injil Matius sebenarnya memberikan penjelasan yang amat sistematis mengenai hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya (bdk. Matius 5-7; 20:20-28; 23:1-36; 25:31-46). Pada intinya Yesus ingin mengatakan bahwa kehadiran dan pandanganNya mengikuti kehendak Allah, di mana umat manusia terutama yang lemah dan tersingkir mendapatkan kembali martabat kemanusiaannya. Kerajaan Surga yang diberitakan oleh Yesus berbicara mengenai pelayanan satu manusia kepada manusia lain tanpa batas (Mat 20:26). Itulah yang sering disebut sebagai pelayanan yang memanusiakan manusia. Berbagai contoh pelayanan hidup Yesus dapat kita sebutka, seperti penerimaan pada orang berdosa, pertolongan pada yang sakit, pengampunan, pembelaan pada yang dilecehkan secara sosial dsb. Seluruh penderitaan, penolakan dan salib pada Yesus harus kita lihat bukan sebagai bentuk dari kepasrahan pada kuasa penindasan (ada beberapa kalangan yang melihat kisah penderitaan Yesus sebagai pengesahan pada sistem pemerintahan yang tidak adil pada saat ini dan penerimaan gereja sebagai pengikut Kristus; Singgih 2000:5). Kita harus melihat keseluruhan hidup Yesus di dalam terang penolakan, penderitaan, salib dan kebangkitanNya sebagai bentuk kesetiaan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dari penindasan politik, agama, dan sosial. Dalam kesetiaan pada Allah maka Yesus membangun sikap dan teologi politik yang amat jelas, yaitu teologi kerajaan Surga. Dari sinilah kita dapat memahami paradigma penebusan dan penyelamatan secara utuh di tengah-tengah politik masyarakat yang tidak utuh.

Berdasarkan refleksi atas Matius 22:15-22, saya rasa kita dapat membuat catatan kritis pada kesalahpahaman yang sering terjadi pada saat gereja melihat teks Roma 13:1-7. Dalam sejarah Protestan di Indonesia Roma 13 ini dijadikan dukungan pada pemerintah kolonial dan kemudian berlanjut pada yang berkuasa saat ini. Kenyataan ini didukung oleh sikap syndrom minority complex di mana gereja sebagai minoritas selalu memandang curiga pada kelompok masyarakat mayoritas yang bukan Kristen. Kecurigaan itu disahkan oleh kenyataan sosial yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa kelompok minoritas membangun sikap meng-generalisasi semua kelompok dan lebih senang mencari perlindungan pada kekuatan pemerintah atau elit tertentu ketimbang membangun persahabatan yang tulus dengan sesama masyarakat (Singgih 2000:13-20). Kondisi seperti ini mempunyai resiko yang amat kuat, yaitu hilangnya kekritisan kepekaan gereja pada pemerintah serta konteks politiknya. Sudah lama gereja berpikir yang penting gereja tidak dibakar dan tidak mendapat tekanan maka kita baik-baik saja. Pemberitaan melalui khotbah dan tulisan-tulisan yang kritis, sekalipun benar, sedapat mungkin ditahan kalau mungkin dihilangkan dari wacana formal gereja demi rasa aman dan “kepatuhan” pada pemerintah yang berkuasa (saya pernah mengalami teguran pada saat khotbah saya mengkritik kebijakan pemerintah pada tahun 1994). Hal inilah yang dikatakan di bagian awal sebagai bentuk gereja yang terjebak dalam politik untuk kepentingan diri sendiri. Pada akhirnya gereja kehilangan identitas diri sebagai komunitas umat Allah justru pada saat proses dehumanisasi yang tidak sejalan dengan kehendak Allah terjadi. Berhubungan dengan hal yang terakhir ini, Gutierrez seorang tokoh teologi pembebasan Amerika Latin mengatakan bahwa kondisi seperti ini membutuhkan pembebasan, bukan hanya dari tekanan luar seperti masalah kelas sosial, negara atau masyarakat, tetapi juga pembebasan dari tekanan dalam, seperti masalah psikologis dan identitas individual (Gutierrez 1974 : 30).

Roma 13 sejalan dengan Matius 22 mengandaikan bahwa Allah sungguh-sungguh menjadi titik berangkat dari perilaku pemerintah di dunia (politik teokrasi). Rakyat dengan sendirinya harus membangun kepatuhan pada saat kehendak Allah yang baik bagi kehidupan bersama diwujudkan. Tetapi tentu rakyat juga harus menjadi amat kritis pada saat Allah dan kehendakNya diabaikan oleh pemerintah yang lebih senang membangun politik kekuasaan kotor, korup dan serakah.

Bagian ketiga
Pertanyaan teknis tentang, bolehkah orang Kristen berpolitik, harus dijawab dengan tegas, boleh! Bahkan bolehkah gereja berpolitik, jawabnya juga, ya! Tentu semuanya ada dalam payung refleksi iman di atas. Gereja sebagai institusi keagamaan jelas tidak berpolitik dalam pengertian menduduki kekuasaan atau berpihak pada salah satu kelompok politik (partisan). Kita sebagai gereja reformasi mewarisi tradisi mengenai pemisahan kekuasaan antara agama dan negara. Tetapi gereja menjalankan tanggungjawab moril atas politik masyarakat. Di lain pihak anggota gereja sebagai warga negara selain mempunyai tanggungjawab moril yang luas, ia juga mempunyai hak dan tanggungjawab untuk berperan di dalam politik, termasuk politik kekuasaan. Artinya sebagai individu dan warga negara, seorang anggota gereja dapat menjalankan fungsi individualnya. Tetapi tentu seluruh refleksi di atas tetap relevan, keberadaan seorang anggota gereja di dalam pemerintahan bukan untuk mengambil keuntungan bagi kehidupan gereja itu sendiri. Karena sebagai anggota gereja maka warga negara itupun diharapkan dapat menjadi alat kesaksian bagi politik masyarakat yang luas dan adil.

Politik gereja demi keuntungan diri sendiri mengembalikan kita pada percakapan di atas mengenai agama/gereja politi. Kelihatannya di Indonesia situasi ini masih terus kuat. Sebelum gonjang ganjil pemilu 1999 wacananya adalah “gereja tidak berpolitik pratis”. Statement ini menjadi semacam excuse pada saat gereja enggan berbicara apapun mengenai politik dan kondisi masyarakat umum. Sekarang wacana yang dikedepankan adalah “kita dukung orang/partai Kristen”. Hal ini sebenarnya juga adalah wacana lama yang pernah sangat kuat di tengah masyarakat Kristen tertentu di Indonesia, yang mendambakan sosok individu Kristen di dalam kabinet atau jajaran tentara dan pegawai negeri. Pada kenyataannya harapan ideal ini selalu gagal, karena pertama, ada kelemahan sistem sosial di mana dominasi kelompok mayoritas amat kuat; kedua, politik kekuasaan dan kepentingan menghadirkan ketidaktulusan gereja dan orang kristen. Hal yang perlu kita bangun berdasarkan refleksi teologi politik di Indonesia saat ini adalah :

1. Gereja dan seluruh anggotanya harus membangun kepekaan sosial yang tingggi. Gereja yang berpolitik adalah gereja yang secara sungguh-sungguh mengakar dalam penderitaan masyarakat. Situasi yang selalu dibangun oleh Yesus, karena ia sungguh-sungguh berakar pada konteksnya, yaitu di tengah penderitaan, dosa dan ketersisihan manusia(bdk.kiss pembaptisan Yesus: Mat 3; 13-17), Konteks kita di Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Alkitab. Hal yang paling terasa adalah kemiskinan dan korupsi. Kedua hal ini sepertinya telah menjadi udara yang kita hirup setiap waktu. Penting bagi kita bagaimana membangun sikap iman di tengah kondisi seperti ini.

2. Gereja sebagai institusi keagamaan sudah seharusnya menjaga jarak dengan institusi politik kekuasaan, dalam hal ini pemerintah. Jarak inilah yang akan mendukung fungsi krisis gereja sebagai agama maupun civil society. Dengan demikian juga kita menghindar dari sikap yang menghalalkan pemerintah (godaan politik ontokrasi).

3. Setiap anggota gereja yang adalah juga warga negara mempunyai hak untuk terjun secara praktis dalam politik kekuasaan. Hal tersebut sudah seharusnya mendapat dukungan penggembalaan gereja. Tetapi keberadaaan individu anggota gereja tidak pernah dijadikan alat apalagi ditekan semata-mata untuk kepentingan kelompok agama atau gereja itu sendiri. Saya meminjam istilah Arliyanus Larosa yang saya modifikasi sedikit, “politik itu tidak beragama”. Karena ketika politk diagamakan, maka masalah kesejahteraan masyarakat yang menjadi unsur utama politk berubah menjadi kepentingan golongan. Kemanusiaan dikotak-kotakan dalam perbedaaan dan kepentingan. Di sinilah agama dapat berubah menjadi monster dan memberhalakan dirinya sendiri. Hal yang tidak pernah nampak dalam sikap politis Yesus. Karena itu dalam surat gembala Sinode GKI menjelang Pemilu 2004 mengatakan bahwa pemilu sebagai mekanisme politik bukan menjadi ajang memilih “agama”.

4. Refleksi dan kesimpulan di atas menjadi bahan mempersiapkan pemilu yang akan datang. Partai apa yang kita akan pilih atau individu siapa yang menarik perhatian, semuanya harus di doakan dan dipertimbangkan berdasarkan konsep teologi politik yang bukan untuk kepentingan golongan tetapi secara sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan masyarakat luas. Karena itu saya menutup tulisan ini dengan kesiapan dan seruan, “selamat berpolitik”!

Penulis adalah Pendeta Jemaat GKI Tasikmalaya

Senin, 03 Februari 2014


(Mat 26:26-30, 1 Kor 11:23-29)  

I.          Penetapan Perjamuan Suci:
Perjamuan suci adalah suatu upacara yang ditetapkan oleh Tuhan yesus kepada murid-muridNya, tatkala pada malam Tuhan Yesus akan diserahkan, upacara ini diperhatikan Yesus kepada murid-muridNya untuk ditaati setiap waktu.  Perjamuan suci merupakan suatu kesaksian gereja.  Dengan menerima roti yang dipecahkan dan cawan anggur, menyatakan bahwa kita mempunyai bagian di dalam Kristus.  Oleh sebab itu orang Kristen harus mentaati dan menghornati Perjamuan Suci menurut prinsip Alkitab.
II.         Arti Perjamuan Suci:
Di dalam perjamuan suci, melalui roti yang dipecah-pecahkan dan cawan anggur yang kita terima, kita memperingati Tuhan yang telah tersalib dan bangkit pula bagi kita.
Dalam hal ini mempunyai tiga arti:
1.   Peringatan Masa Lampau:
Waktu kita menerima roti dan cawan, kita mengenangkan, memperingati pengorbanan, penyerahan diri dan pencurahan darah Yesus yang tak ternilai harganya.  Dan haruslah kita menyelidiki diri sendiri, bagaimanakah kasih kita kepada Tuhan, apakah kita milik Tuhan yang dapat memperkenankan hati.
2.   Persatuan Masa Sekarang:
Menerima roti dan cawan anggur menyatakan kita menerima daging dan darah Kristus (melambangkan) sehingga kita mempunyai bagian di dalam hidupNya dan bersatu serta bersekutu denganNya.  Persatuan ini juga merupakan persatuan antara orang, sehingga menjadi anggota tubuh Kristus yang saling bersekutu.
3.   Pengharapan untuk masa yang Akan Datang:
Waktu Tuhan menetapkan perjamuan suci, Ia menjanjikan kepada kita bahwa kita akan minum “yang baru” di dalam kerajaan Bapa kelak.  Sebab itu setiap kali menerima perjamuan suci, kita berharap supaya Tuhan cepat datang dan menjemput kita masuk ke dalam kerajaanNya yang kekal. Mat 26:29. 

III.        Siapa yang layak menerima Perjamuan Suci:
Tuhan menetapkan perjamuan suci teristimewa bagi murid-muridNya.  Sebab itu barang siapa yang sudah diperanakan pula dan diselamatkan serta percaya Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadinya, maka ia boleh menerima perjamuan suci.  Perjamuan suci bukan hanya merupakan suatu pernyataan luar saja, tetapi juga merupakan “hidup” di dalam orang Kristen.  Sebab itu untuk menghindarkan kekacauan, maka gereja menetapkan peraturan bahwa hanyalah orang yang sudah menerima baptisan, barulah boleh mengikuti perjamuan suci.

IV.        Sikap sebelum menerima Perjamuan Suci:
a.   Hendaklah memeriksa diri sendiri, menjauhi dosa. 1 Kor 11:28; 5:7-8.
Kita yang menjadai milik Tuhan apakah sungguh-sungguh telah menjadai milikNya?  Hendaklah kita memeriksa diri sendiri, mengakui dosa, perselisihan, dll, antara saudara-saudara.  Bila tidak, maka berarti kita menipu diri sendiri.                                   
b.   Hendaklah kita:
1.   Membedakan roti dan cawan yang kita terima itu adalah melambangkan sebagai tubuh dan darah Kristus.  Sebab itu harusalah diasingkan dan disucikan.  1 Kor 10:21; 11:29.
2.   Membedakan diri kita yang telah dibeli dengan harga tunai.  Sebab itu harusalah kita bertekun sekali lagi untuk menyerahkan diri kepada Tuhan.
Satu minggu sebelumnya, gereja biasanya sudah mengumumkan tentang perjamuan suci ini.  Maksudnya ialah supaya anggota jemaat menyediakan hati masing-masing.  Bila kita menerima perjamuan suci secara teratur, maka kita pasti akan mendapat penghiburan, faedah, anugerah rohani, keteguhan iman, kekuatan, dorongan, dan pengharapan.  Tetapi bila ada orang yang menerima perjamuan suci sembarangan, tanpa teratur, maka ia akan mendapatkan hukuman.  Karena dengan berbuat demikian berarti ia makan dan minum suatu hukum atas dirinya sendiri.
I.          Sepuluh Hukum Allah:
Asalnya:
Dari tuhan sendiri, yang diberikan kepada bangsa Israel melaui Musa. 
Kel 20:3-17, Ul 5:7-21.
Ini adalah suatu hukum yang diberikan kepada bani Israel setelah Tuhan melepaskan mereka dari perhambaan Mesir, tetapi hukum moral ini tidak sesuai digunakan oleh orang-orang kristen masa kini.
 
Isi sepuluh hukum tsb adalah sbb:
1.  Jangan ada padamu allah lain dihadapanKu (Jehova).  Dia adalah Tuhan yang terhormat, termulia dan Esa, sedangkan yang lain adalah palsu.  Kita tidak boleh menyembah iblis.
2.  Jangan diperbuat olehmu akan patung ukiran.
3.  Jangan kamu menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sia-sia.  Ini berarti kita tidak boleh mempermainkan nama Tuhan. Semua akte-akte atau perjanjian nikah yang dibuat demi nama Tuhan, tidak dapat dimungkiri.
4.   Ingatlah dan sucikanlah hari Sabat.
Hari Sabat adalah hari Sabtu.  Ini adalah hari yang harus ditaati oleh orang-orang yang berada dibawah hukum Taurat.  Hari Sabat adalah untuk memperingati hari dimana Tuhan menghentikan pekerjaan penciptaanNya, yaitu pada hari ketujuh.  Dalam P.B.,orang kristen yang telah ditebus oleh Tuhan, yang berada dibawah augerah, memakai hari Minggu sebagai suatu hari peringatan Kebangkitan Kristus.  Sebab itu hari Miggu harus disucikan oleh orang Kristen.  Hendaklah pada hari iitu kita meletakkan perkara-perkara dunia  dan dengan hikmat berbakti kepada Tuhan, memperingati Tuhan dan anugerahNya.
Orang Kristen tidak boleh mengambil alasan apapun untuk tidak berbakti pada hari Minggu, karena ini adalah hal yang tidak berkenan kepada Tuhan.
5.   Berilah hormat akan ibu bapamu.
Orang Kristen harus menunaikan kewajiban sebagai seoang anak, yaitu menghormati dan berbakti kepada orang tuanya.  Tetapi semuanya ini harus dilakikan dengan “didalam Tuhan” sebagai prinsip.  Ef 6:1.
6.   Jangan kamu membunuh.
Selain diujukan kepada perbuatan yang nyata, juga pada pikiran-pikiran dan niat hati jahat.  Misalnya: dengki, cemburu, kejam, bengis, dll.
7.   Jangan kamu berzinah.
Orang Kristen harus menjaga kesucian tubuh dan hatinya, tidak boleh mengikuti tabiat duniawi.  Haruslah kita menghormati perkawinan dan mentaati satu sistem, satu suami dan satu istri.  Mat 5.
8.  Jangan kamu mencuri.
Dalam hal ini, juga termasuk perbuatan meminjam barang, kemudian tidak mau membayar/ mengembalikannya kembali, ataudidalam perdagangan dengan tipu muslihat berusaha mendapat keuntungan.
9.   Jangan kamu bersaksi dusta, untuk mencelakakan orang.
Apa yang harus kita katakan adalah: “Ya “ diatas yang “ya”, dan “tidak” diatas yang “tidak”. Mat 5:37.
10. Jangan kamu tamak.
Harus merasa puas akan apa yang telah diatur oleh Tuhan dan puas dalam segala hal.
 
II.         Hukum Kristus dapatlah disimpulkan sbb:
“Hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan sebulat hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan sepenuh akal budimu.  Inilah hukum yang terbesar dan terutama”.  Dan hukum yang kedua yang bersama dengan itu, demikian: “Hendaklah engkau mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri”.
Pada kedua hukum ini tercantum segenap kitab taurat dan kitab para nabi.
Mat 22:37-40.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pengakuan Iman Rasuli (Latin: Symbolum Apostolorum atau Symbolum Apostolicum), kadang disebut Kredo Rasuli atau Kredo Para Rasul, adalah salah satu dari kredo yang secara luas diterima dan diakui oleh Gereja-gereja Kristen, khususnya Gereja-gereja yang berakar dalam tradisi Barat. Di kalangan Gereja Katolik Roma, kredo ini disebut Syahadat Para Rasul.
Menurut Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Rasuli terbagi atas tiga bagian utama yaitu pertama mengenai Allah Bapa dan penciptaan kita. Yang kedua mengenai Allah Anak dan penebusan kita. Yang ketiga mengenai Allah Roh Kudus dan pengudusan kita. [1]

Asal-usul

Menurut sejarah, para rasul (murid-murid Yesus) sendirilah yang menulis kredo ini pada hari ke-10 (Hari Pentakosta) setelah kenaikan Yesus Kristus ke sorga. Karena isinya mengandung 12 butir, ada keyakinan bahwa masing-masing murid Yesus menuliskan satu pernyataan di bawah bimbingan Roh Kudus. Namun, sebagian sejarawan berpendapat bahwa kredo ini berasal dari Gaul, Perancis, pada abad ke-5.
Bukti historis konkret yang tertua tentang keberadaan kredo ini adalah sepucuk surat dari Konsili Milano (390 M) kepada Paus Siricius yang bunyinya demikian:
"Bila engkau tidak memuji ajaran-ajaran para imam ... biarlah pujian itu setidak-tidaknya diberikan kepada Symbolum Apostolorum yang selalu dilestarikan oleh Gereja Roma dan akan tetap dipertahankan agar tidak dilanggar."
Kredo ini paling banyak digunakan dalam ibadah orang-orang Kristen di Barat. Catholic Encyclopedia memuat pembahasan terinci tentang asal usul Pengakuan Iman Rasul ini.
Kredo ini adalah rumusan ajaran dasar Gereja perdana, yang dibuat berdasarkan amanat agung Yesus untuk menjadikan segala bangsa muridnya, membaptiskan mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (Matius 28:18-20). Karena itu, dari kredo ini kelihatan bahwa doktrin sentralnya adalah Tritunggal dan Allah sang Pencipta.
Pada masa ketika kebanyakan umat Kristen masih buta huruf, pengulangan secara lisan Pengakuan Iman Rasul ini seiring dengan Doa Bapa Kami dan Sepuluh Perintah Tuhan (Dasa Titah) membantu melestarikan dan menyebarkan iman Kristiani dari gereja-gereja Barat. Pengakuan Iman Rasul tidak memiliki peran di Gereja Ortodoks Timur.
Versi tertulis yang paling awal kemungkinan adalah Kredo Tanya Jawab Hipolitus (sekitar 215 M). Versi yang sekarang pertama kali ditemukan di dalam tulisan-tulisan Caesarius dari Arles (wafat 542). Pengakuan Iman Rasul ini rupanya digunakan sebagai ringkasan ajaran Kristen untuk calon-calon baptisan di gereja-gereja Roma. Oleh karena itu dikenal juga sebagai Symbolum Romanum (Roman Symbol). Dalam versi Hipolitus, Pengakuan Iman ini diberikan dalam bentuk tanya jawab dengan calon baptisan yang kemudian mengakui bahwa mereka percaya tiap pernyataan.

Teks Indonesia

Teks dalam bahasa Indonesia menurut Versi Katolik Roma dan Protestan

Versi Katolik Roma

Syahadat Para Rasul
Aku percaya akan Allah,
Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi;
dan akan Yesus Kristus,
Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita,
yang dikandung dari Roh Kudus,
yang menderita sengsara
yang turun ke tempat penantian
pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati;
duduk di sebelah kanan Allah Bapa
yang mahakuasa;
Aku percaya akan Roh Kudus,
Gereja katolik² yang kudus,
persekutuan para kudus,
pengampunan dosa,
kebangkitan badan,
kehidupan kekal.
Amin.

Versi Protestan

Pengakuan Iman Rasuli
Aku percaya kepada Allah,
Bapa yang Mahakuasa,
Khalik langit dan bumi.
Dan kepada Yesus Kristus,
Anak-Nya yang Tunggal, Tuhan kita
Yang dikandung dari Roh Kudus,
Yang menderita sengsara¹
turun ke dalam kerajaan maut
Pada hari yang ketiga bangkit pula
dari antara orang mati
duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa,
Aku percaya kepada Roh Kudus,
Adanya satu gereja yang kudus dan am,²
persekutuan orang kudus
pengampunan dosa
kebangkitan daging³
dan hidup yang kekal. Amin
¹Sebagian versi hanya mengatakan "Yang menderita", tanpa "sengsara", dengan pertimbangan bahwa sengsara dengan sendirinya mengandung arti penderitaan.
²Katolik di sini berarti semesta dan universal, arti yang sama dengan kata am yang digunakan dalam versi Protestan.
³Versi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yang merupakan terjemahan harafiah dari "carnis resurrectionem" (bahasa Latin) atau "σαρκος ανάστασιν" (sarkos anastasin) (bahasa Yunani). Sebagian gereja menggunakan terjemahan "kebangkitan tubuh" atau "kebangkitan orang mati" (versi Gereja Kristen Indonesia (GKI). Versi ini berdasarkan Pengakuan Iman Rasuli di Kidung Jemaat terbitan Yamuger PGI.