Selasa, 04 Februari 2014

(Refleksi teologis singkat tentang sikap iman gereja dan politik di Indonesia)
Oleh. Pdt. Handi Hadiwitanto

Rupanya sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, setiap kali memasuki masa-masa pemilu, maka anggota jemaat mulai sibuk bertanya tentang hubungan Iman dan Politik, atau bertanya apakah orang Kristen boleh, atau perlu berpolitik. Hal ini menjadi klasik, karena seolah-olah politik adalah persoalan pemilu saja. Dan hal yang paling nyata dari pernyataan maupun pertanyaan ini adalah, politik selalu dikaitkan dengan hal perebutan kekuasaan. Karena itu sterotype-nya adalah politik itu kotor, jahat, tidak ada kawan sejati dan sebagainya. Pertanyaan kita adalah sudah benarkah pengertian politik yang seperti itu? Pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teologis - teknis, seperti bagaimana kata Alkitab, bolehkah orang Kristen berpolitk, bagaimana cara dan bentuknya, bagaimana sikap kita menghadapi pemilu?
Eka Darmaputera pernah menulis kalimat yang menarik mengenai "politik" ini: "hubungan antar agama di negeri kita sekarang ini tanpa sadar mendesak agama-agama untuk menjadi ‘agama politik’, yang bersibuk dan berdaya upaya senantiasa untuk meraih kuasa... Kita membutuhkan ‘politik agama’ yang jelas dan bijaksana, memberikan kerangka agar agama-agama di samping misinya yang asli, juga menjadi pembantu dan bukan pengganggu bagi usaha-usaha pembangungan bangsa." (Sinaga dkk. 2001 : 228)

Berangkat dari kutipan Darmaputera di atas saya ingin mengajak kita untuk masuk dalam wacana singkat mengenai kata "politik". Politik dalam penggunaannya sehari-hari sebenarnya belum dimengerti secara lengkap oleh kita semua. Kalau kita memperhatikan statement dari politik, tetapi politik itu sendiri lebih besar dari sekedar kekuasaan. Politik dalam arti yang paling mendasar adalah soal pengaturan kesejahteraan masyarakat (dalam sebuah polis/kota; saat ini: negara/wilayah). Dengan mengacu pada pandangan Metz dan Moltmann - para teolog yang menelurkan gagasan mengenai teologi politik di Jerman - Assmann mengatakan bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan bukan hanya hubungan formal dengan negara (Assmann 1975 : 30)

Dengan pengertian politik yang luas seperti ini, maka kita diajak untuk menjadi sadar bahwa setiap masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat seperti kota atau negara, amat memerlukan kebijakan politik. Dan setiap tindakan yang berhubungan serta berdampak pada kesejahteraan orang banyak disebut sebagai tindakan politis. Konsekuensi yang berkaitan dengan gereja berdasarkan pandangan ini amat besar. Sebagai contoh saja, ketika gereja memikirkan kesejahteraan masyarakat miskin, dan mengadakan pelayanan pengobatan kepada mereka secara murah maka itupun sudah menjadi sebuah kegiatan politis dari gereja. Hal inlah yang dimaksudkan oleh Darmaputera sebagai tindakan politik agama atau politik gereja. Berbeda sekali dengan konsep agama atau gereja politis yang hendak mencari keuntungan dan kekuasaan bagi diri sendiri. Karena itu semakin gereja itu hidup merakyat dalam pelayanan kontekstualnya, atau gereja itu terlibat aktif dalam pergumulan sejarah masyarakat di mana gereja itu melayani, maka gereja itu pun sudah berpolitik. Karena itu bagi Pieris yang amat menaruh perhatian pada konsep berteologi dalam konteks masyarakat Asia, agama-agama termasuk gereja di Asia hampir tidak dapat dipisahkan dari masyarakat (hubungan agama/iman - adat - masyarakat), dan dengan demikian maka semua gereja-gereja di Asia pada dasarnya adalah gereja yang berpolitik, atau biasa disebut sebagai ber-teologi politik (Pieris 1996 : 78 dst).

Sampai di sini maka apa yang dikatakan oleh Darmaputera di atas menjadi semakin jelas. Bila gereja sebagai sebuah institusi menjadi gereja politi, yaitu gereja yang sibuk mengejar kekuasaan atau keuntungan diri sendiri, maka gereja tidak memberikan kontribusi apa pun bahkan mungkin sudah menjadi pengganggu bagi kehidupan bersama. Sikap inilah yang harus kita lawan sebagai gereja. Berkaitan dengan hal di atas, selama ini banyak warga gereja selalu berpikir bahwa mereka tidak berpolitik, apalagi untuk mengejar keuntungan bagi dirinya. Tetapi pandangan ini harus sudah dikoreksi. Ada banyak contoh mengenai sikap politik gereja (formal maupun tidak) yang menunjukkan bahwa gereja mengejar kekuasaan atau kepentingan dirinya. Sebagai contoh seperti yang ditulis oleh Singgih: langsung atau tidak gereja menekankan pentingnya unsur Kristen masuk dalam struktur pemerintahan; mengambil sikap sebagai ‘anak manis’ dan menyandarkan diri pada perlindungan penguasa; memperjuangkan kepentingan sendiri dengan membangun jembatan dengan pemerintah/ penguasa dan golongan elit tertentu (Singgih 2000 : 26-35). Jelas sikap seperti ini tidak hanya dilakukan pada saat momentum pemilu, tetapi hampir di seluruh perjalanan hidup politik gereja di Indonesia (lihat Sirait 2001 : 181 dst). Kita dapat mengerti bahwa keadaan seperti ini didorong oleh situasi dan kondisi bernegara - berbangsa - beragama di Indonesia yang memang tidak ideal. Diskriminasi dan ketidakadilan terjadi di mana-mana di berbagai wilayah masyarakat termasuk wilayah hubungan agama-agama, yang menghasilkan sikap iman dan politik gereja yang tidak ideal pula (lih. Hadiwitanto 2002).

Karena itu sebagai gereja kita perlu mengubah konsep berpolitik ke arah yang lebih benar dan luas. Bukan gereja politik untuk mengejar kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik gereja yang menghasilkan teologi politik yang ideal, yaitu refleksi-refleksi dan tindakan iman di dalam serta demi kepentingan kehidupan masyarakat banyak. Di sini teologi politik gereja menghadirkan gereja sebagai institusi kritis dan agen pembaruan di tengah berbagai kebijakan publik. Dengan demikian maka gereja menjadi sumber pengharapan bagi konteks masyarakat yang ada. Di sini secara tegas kita harus mengatakan bahwa gereja memang berpolitik, bukan untuk kekuasaan sempit, bukan hanya pada saat ada pemilu, tetapi untuk kesejahteraan dan kemanusiaan manusia.

Bagian Kedua
Berbicara mengenai teologi politik dan kesejahteraan manusia membuat kita perlu untuk kembali membangun refleksi teologis dari dasarnya, yaitu Yesus Kristus (1 Kor 3: 11). Pemahaman yang utuh mengenai hidup penderitaan, penghinaan dan penyaliban akan membawa kita pada pesan kemanusiaan dan sikap politis Yesus yang menjadi teladan bagi gereja modern. Tentu untuk itu diperlukan pemeriksaan pada banyak teks terkait, yang tiak dapat dilakukakan semua dalam tulisan ini. Di bawah saya hendak mengajak kita semua untuk memeriksa satu teks terkenal dalam Matius 22:15-22. Teks ini sangat sering dijadikan dasar pengertian tentang hubungan gereja dan negara karena setting cerita yang amat khas. Karena itu selain kita dapat melihat situasi politis yang terjadi pada masa Yesus, dalam terang keseluruhan pesan Injil kita juga dapat membangun pemahaman mengenai politik gereja yang semestinya.

Dalam teks Matius 22:15-22 Yesus diperhadapkan pada pertanyaan yang apapun jawabannya mempunyai konsekuensi politis, yaitu "apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak?" Pada masa itu masyarakat Yahudi Palestina masih diberikan kebebasan untuk bergerak dalam tradisi keagamaannya (bahkan daerah Galilea merupakan pemerintahan khusus yang dipimpin oleh raja keturunan Herodes), tetapi penyangkalan pada kekuasaan Romawi merupakan tindakan makar yang dapat menjadi persoalan serius. Di sisi lain harapan orang Yahudi pada saat itu juga bermacam-macam melakukan tindakan makar dengan menolak pembayaran pajak serta membangun gerakan-gerakan di bawah tanah. Golongan Farisi amat yakin pada kebebasan mereka dari Romawi, tetapi mereka tidak melakukan perlawanan terang-terangan. Baik Zelot maupun Farisi sama-sama menantikan kehadiran Sang Mesian yang akan membebaskan mereka dari Romawi. Sedangkan golongan Herodes Agung akan berkuasa memerintah palestina. Karena itu kembali pada pertanyaan di atas, jika Yesus menjawab, ya, maka Yesus akan mengecewakan orang banyak yang berpikir bahwa Yesus adalah Mesias dan orang-orang Farisi dan Zelot akan punya alasan untuk mengenyahkan Yesus. Sebaliknya jika Yesus menjawab, tidak, maka Yesus melakukan tindakan makar dan dapat diperhadapkan pada pemerintahan Romawi (lih. De Heer 1994 : 433-434).
Pertanyaan yang bermaksud menjebak Yesus ini pada akhirnya menjadipertanyaan yang akan mengungkapkan bagaimana Yesus memahami politik pada saat itu. Jawaban Yesus dalam ay. 19-21 memperlihatkan dua hal penting.

Pertama, Yesus bersikap adil pada pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Kalimat "berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar.." Berhubungan erat dengan tulisan yang ada pada uang Romawi, yang memberitahukan bahwa uang tersebut milik pemerintah Romawi. Tetapi selain itu juga Yesus ingin mengatakan secara umum bahwa jika mereka sebagai masyarakat pada saat itu memang diatur oleh kebijakan Romawi dan itu semua memang berjalan dengan baik, mengapa tidak! Yesus di sini tidak terjebak dalam politik kekuasaan yang dimaksudkan oleh orang-orang Farisi. Dengan kata lain Yesus sedang mengatakan bahwa kehadiranNya tidak berurusan dengan politik kekuasaan yang sempit.

Kedua, Yesus mengatakan lebih lanjut dalam ay. 21, "berikanlah... Kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Pernyataan ini segera menyadarkan kita bahwa Yesus memperlihatkan sikap politik yang tidak menjadikan kaisar atau pemerintahan dunia sebagai perwujudan yang ilahi (politik ontokrasi), sehingga menghadirkan kekuasaan absolut murni. Yesus tetap mengingatkan bahwa ada Allah yang harus dihormati oleh masyarakat maupun kaisar/pemerintah (politik teokrasi).
Ketika Yesus berbicara mengenai kekuasaan Allah, maka kita bukan sedang berbicara mengenai sistem politik kekuasaan suatu negara tertentu. Melainkan seluruh pikiran dan kehendak Allah yang dicerminkan melalui pelayanan Yesus di tengah manusia. Injil Matius sebenarnya memberikan penjelasan yang amat sistematis mengenai hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya (bdk. Matius 5-7; 20:20-28; 23:1-36; 25:31-46). Pada intinya Yesus ingin mengatakan bahwa kehadiran dan pandanganNya mengikuti kehendak Allah, di mana umat manusia terutama yang lemah dan tersingkir mendapatkan kembali martabat kemanusiaannya. Kerajaan Surga yang diberitakan oleh Yesus berbicara mengenai pelayanan satu manusia kepada manusia lain tanpa batas (Mat 20:26). Itulah yang sering disebut sebagai pelayanan yang memanusiakan manusia. Berbagai contoh pelayanan hidup Yesus dapat kita sebutka, seperti penerimaan pada orang berdosa, pertolongan pada yang sakit, pengampunan, pembelaan pada yang dilecehkan secara sosial dsb. Seluruh penderitaan, penolakan dan salib pada Yesus harus kita lihat bukan sebagai bentuk dari kepasrahan pada kuasa penindasan (ada beberapa kalangan yang melihat kisah penderitaan Yesus sebagai pengesahan pada sistem pemerintahan yang tidak adil pada saat ini dan penerimaan gereja sebagai pengikut Kristus; Singgih 2000:5). Kita harus melihat keseluruhan hidup Yesus di dalam terang penolakan, penderitaan, salib dan kebangkitanNya sebagai bentuk kesetiaan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dari penindasan politik, agama, dan sosial. Dalam kesetiaan pada Allah maka Yesus membangun sikap dan teologi politik yang amat jelas, yaitu teologi kerajaan Surga. Dari sinilah kita dapat memahami paradigma penebusan dan penyelamatan secara utuh di tengah-tengah politik masyarakat yang tidak utuh.

Berdasarkan refleksi atas Matius 22:15-22, saya rasa kita dapat membuat catatan kritis pada kesalahpahaman yang sering terjadi pada saat gereja melihat teks Roma 13:1-7. Dalam sejarah Protestan di Indonesia Roma 13 ini dijadikan dukungan pada pemerintah kolonial dan kemudian berlanjut pada yang berkuasa saat ini. Kenyataan ini didukung oleh sikap syndrom minority complex di mana gereja sebagai minoritas selalu memandang curiga pada kelompok masyarakat mayoritas yang bukan Kristen. Kecurigaan itu disahkan oleh kenyataan sosial yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa kelompok minoritas membangun sikap meng-generalisasi semua kelompok dan lebih senang mencari perlindungan pada kekuatan pemerintah atau elit tertentu ketimbang membangun persahabatan yang tulus dengan sesama masyarakat (Singgih 2000:13-20). Kondisi seperti ini mempunyai resiko yang amat kuat, yaitu hilangnya kekritisan kepekaan gereja pada pemerintah serta konteks politiknya. Sudah lama gereja berpikir yang penting gereja tidak dibakar dan tidak mendapat tekanan maka kita baik-baik saja. Pemberitaan melalui khotbah dan tulisan-tulisan yang kritis, sekalipun benar, sedapat mungkin ditahan kalau mungkin dihilangkan dari wacana formal gereja demi rasa aman dan “kepatuhan” pada pemerintah yang berkuasa (saya pernah mengalami teguran pada saat khotbah saya mengkritik kebijakan pemerintah pada tahun 1994). Hal inilah yang dikatakan di bagian awal sebagai bentuk gereja yang terjebak dalam politik untuk kepentingan diri sendiri. Pada akhirnya gereja kehilangan identitas diri sebagai komunitas umat Allah justru pada saat proses dehumanisasi yang tidak sejalan dengan kehendak Allah terjadi. Berhubungan dengan hal yang terakhir ini, Gutierrez seorang tokoh teologi pembebasan Amerika Latin mengatakan bahwa kondisi seperti ini membutuhkan pembebasan, bukan hanya dari tekanan luar seperti masalah kelas sosial, negara atau masyarakat, tetapi juga pembebasan dari tekanan dalam, seperti masalah psikologis dan identitas individual (Gutierrez 1974 : 30).

Roma 13 sejalan dengan Matius 22 mengandaikan bahwa Allah sungguh-sungguh menjadi titik berangkat dari perilaku pemerintah di dunia (politik teokrasi). Rakyat dengan sendirinya harus membangun kepatuhan pada saat kehendak Allah yang baik bagi kehidupan bersama diwujudkan. Tetapi tentu rakyat juga harus menjadi amat kritis pada saat Allah dan kehendakNya diabaikan oleh pemerintah yang lebih senang membangun politik kekuasaan kotor, korup dan serakah.

Bagian ketiga
Pertanyaan teknis tentang, bolehkah orang Kristen berpolitik, harus dijawab dengan tegas, boleh! Bahkan bolehkah gereja berpolitik, jawabnya juga, ya! Tentu semuanya ada dalam payung refleksi iman di atas. Gereja sebagai institusi keagamaan jelas tidak berpolitik dalam pengertian menduduki kekuasaan atau berpihak pada salah satu kelompok politik (partisan). Kita sebagai gereja reformasi mewarisi tradisi mengenai pemisahan kekuasaan antara agama dan negara. Tetapi gereja menjalankan tanggungjawab moril atas politik masyarakat. Di lain pihak anggota gereja sebagai warga negara selain mempunyai tanggungjawab moril yang luas, ia juga mempunyai hak dan tanggungjawab untuk berperan di dalam politik, termasuk politik kekuasaan. Artinya sebagai individu dan warga negara, seorang anggota gereja dapat menjalankan fungsi individualnya. Tetapi tentu seluruh refleksi di atas tetap relevan, keberadaan seorang anggota gereja di dalam pemerintahan bukan untuk mengambil keuntungan bagi kehidupan gereja itu sendiri. Karena sebagai anggota gereja maka warga negara itupun diharapkan dapat menjadi alat kesaksian bagi politik masyarakat yang luas dan adil.

Politik gereja demi keuntungan diri sendiri mengembalikan kita pada percakapan di atas mengenai agama/gereja politi. Kelihatannya di Indonesia situasi ini masih terus kuat. Sebelum gonjang ganjil pemilu 1999 wacananya adalah “gereja tidak berpolitik pratis”. Statement ini menjadi semacam excuse pada saat gereja enggan berbicara apapun mengenai politik dan kondisi masyarakat umum. Sekarang wacana yang dikedepankan adalah “kita dukung orang/partai Kristen”. Hal ini sebenarnya juga adalah wacana lama yang pernah sangat kuat di tengah masyarakat Kristen tertentu di Indonesia, yang mendambakan sosok individu Kristen di dalam kabinet atau jajaran tentara dan pegawai negeri. Pada kenyataannya harapan ideal ini selalu gagal, karena pertama, ada kelemahan sistem sosial di mana dominasi kelompok mayoritas amat kuat; kedua, politik kekuasaan dan kepentingan menghadirkan ketidaktulusan gereja dan orang kristen. Hal yang perlu kita bangun berdasarkan refleksi teologi politik di Indonesia saat ini adalah :

1. Gereja dan seluruh anggotanya harus membangun kepekaan sosial yang tingggi. Gereja yang berpolitik adalah gereja yang secara sungguh-sungguh mengakar dalam penderitaan masyarakat. Situasi yang selalu dibangun oleh Yesus, karena ia sungguh-sungguh berakar pada konteksnya, yaitu di tengah penderitaan, dosa dan ketersisihan manusia(bdk.kiss pembaptisan Yesus: Mat 3; 13-17), Konteks kita di Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Alkitab. Hal yang paling terasa adalah kemiskinan dan korupsi. Kedua hal ini sepertinya telah menjadi udara yang kita hirup setiap waktu. Penting bagi kita bagaimana membangun sikap iman di tengah kondisi seperti ini.

2. Gereja sebagai institusi keagamaan sudah seharusnya menjaga jarak dengan institusi politik kekuasaan, dalam hal ini pemerintah. Jarak inilah yang akan mendukung fungsi krisis gereja sebagai agama maupun civil society. Dengan demikian juga kita menghindar dari sikap yang menghalalkan pemerintah (godaan politik ontokrasi).

3. Setiap anggota gereja yang adalah juga warga negara mempunyai hak untuk terjun secara praktis dalam politik kekuasaan. Hal tersebut sudah seharusnya mendapat dukungan penggembalaan gereja. Tetapi keberadaaan individu anggota gereja tidak pernah dijadikan alat apalagi ditekan semata-mata untuk kepentingan kelompok agama atau gereja itu sendiri. Saya meminjam istilah Arliyanus Larosa yang saya modifikasi sedikit, “politik itu tidak beragama”. Karena ketika politk diagamakan, maka masalah kesejahteraan masyarakat yang menjadi unsur utama politk berubah menjadi kepentingan golongan. Kemanusiaan dikotak-kotakan dalam perbedaaan dan kepentingan. Di sinilah agama dapat berubah menjadi monster dan memberhalakan dirinya sendiri. Hal yang tidak pernah nampak dalam sikap politis Yesus. Karena itu dalam surat gembala Sinode GKI menjelang Pemilu 2004 mengatakan bahwa pemilu sebagai mekanisme politik bukan menjadi ajang memilih “agama”.

4. Refleksi dan kesimpulan di atas menjadi bahan mempersiapkan pemilu yang akan datang. Partai apa yang kita akan pilih atau individu siapa yang menarik perhatian, semuanya harus di doakan dan dipertimbangkan berdasarkan konsep teologi politik yang bukan untuk kepentingan golongan tetapi secara sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan masyarakat luas. Karena itu saya menutup tulisan ini dengan kesiapan dan seruan, “selamat berpolitik”!

Penulis adalah Pendeta Jemaat GKI Tasikmalaya

0 komentar :

Posting Komentar